Islam Liberal Berproses VS Islam Radikal Berproses
Oleh : Saeful Agus
Sering terdengar di awal setiap khutbah. Salawat serta salam selalu kita curahkan pada Rasulullah SAW. Rasul yang membawa kita dari zaman kegelapan jahiliyah menuju cahaya kebenaran Islam yang terang benderang. Sayang, dengan kesadaran atau tidak kalimat itu berakhir dengan titik. Padahal jika diteruskan. Namun setelah Rasulullah dan para sahabat wafat kita kembali kepada tempurung kegelapan jahilyah yang berada di tengah-tengah cahaya Islam.
Sejak awal umat Islam, umat agama pamungkas, umat agama penyempurna ini tidak memiliki kekuatan apapun. Walau sebesar apapun jumlah kuantitasnya tetap saja tidak memiliki kekuatan. Umat ini tidak bisa berbuat banyak ketika Israel negara yang sebesar kabupaten di Indonesia melakukan kesewenangan hak, kesewenangan media dan kesewenangan lainnya kepada umat muslim. Karena yang mempunyai kekuatan Islam sesungguhnya adalah nilai-nilai Islam. Bukan banyak umat atau negara Islam dan nilai-nilai inilah yang amat ditakuti oleh musuh Islam. Sehingga mereka mempropagandakan agar umat Islam takut akan nilai-nilai keIslamam. Takut pada syariahnya. Akhirnya yang ada Islam yang tanpa nilai. Terbukti ketika nilai Islam diterapkan secara sadar baik oleh muslim ataupun non muslim Madinah menjadi pusat peradaban dunia ketika zaman Rasulullah dan tidak satu Agamapun terdzolimi. Konsep masyarakat madani ini pernah dipaparkan oleh cendikiawan muslim Cak Nur.
Kejadian insiden Monas menunjukkan kelemahan umat Islam. Hilangnya sebagian nilai-nilai Islam pada masing-masing kubu menyebabkan si Liberal berproses dihantam oleh si Radikal berproses. Saya beri embel-embel berproses karena itu bukan nilai mutlak saya sendiri sedang berproses. Terserah kalian mau menyebut saya sok tahu berproses atau yang lainnya. Kalau boleh jujur saya lebih suka disebut moderat berproses.
Sejak awal datangnya Islampun toleransi beragama selalu dijunjung tinggi. Tapi belum saya ketahui kalau Rasulullah mendukung pamannya Abdul Muthalib untuk terus berada dalam kesesatan atau dengan membentuk aliansi kebebasan beragama dan berkeyakinan. Yang saya tahu Rasulullah mendakwahkan nilai-nilai Islam lewat lisan dan perbuatan.
Kalau saya tidur di kandang kambing, saya tidak perlu menjadi kambing, dan tidak perlu juga mengubah kambing menjadi saya. Bahkan tidak perlu menjalankan suatu metoda toleransi di mana saya mengkambing-kambing diri dan kambing menyesuaikan diri seakan-akan kambing adalah saya. Kambing tidak perlu menyembunyikan identitas dan eksistensinya sebagai kambing, dan saya tidak perlu menyembunyikan siapa saya.
Pluralisme adalah kerbau membiarkan kambing menjadi kambing, dan kambing mempersilakan kerbau menjadi kerbau. Jelas kambingnya, jelas kerbaunya, sehingga plural. Kalau kerbau “tidak boleh menonjolkan kekerbauannya” dan kambing “jangan menonjolkan kekambingannya” maka keadaan akan berkembang menjadi singularisme. (Cak Nun dalam bukunya Kafir Liberal).
Belum saya ketahui juga kalau Rasulullah bersama umatnya pernah memukuli pamannya dan pengikutnya. Bahkan ketika seorang kafir melakukan pengancaman pada eksistensi Islam ataupun rencana-rencana pengancaman. Rasul tidak memerangi sebelum mengadakan negosiasi, baik lisan atau tulisan.
Surat Tha Ha ayat 42-47 sudah cukup menjelaskan kita bagaimana bersikap pada orang yang bukan hanya mengaku sebagai nabi tapi mengaku sebagai tuhan. Nabi Musa a.s dan Nabi Harun a.s diperintah Allah menghadap fir’aun
Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat dan takut (QS 20: 44)
Kalaupun dengan tulisan ini saya dituduh sok tahu lantas dipukuli. Ya..... saya ga’ bisa apa-apa. Karena yang punya kekuatan bukan umat Islam, ormas Islam, ataupun partai Islam. Tetapi nilai-nilai Islam.
Ribut pada,,,,??
7:09:00 AM di 7:09:00 AMThis entry was posted on 7:09:00 AM . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar