oleh : Zulkifliemansyah
Terlepas dari perdebatan kapan dilaksanakannya hari raya Idhul Fitri, sebentar lagi fajar 1 syawal akan menyingsing di ufuk timur sebagai penanda datangnnya hari kemenangan bagi seluruh umat Islam. Di mana-mana, Takbir, Tahmid, dan Tasbih dikumandangkan untuk menyambut hari kemenangan itu.
Laiknya drama kolosal kemanusiaan, umat Islam dari semua lapisan masyarakat berbondong-bondong mendatangi Masjid, Mushalla, langgar, bahkan lapangan terbuka sekalipun guna melaksanakan shalat ied berjamaah seraya mengiringi berpulangnya bulan ramadhan. Di hari itu, kaum muslim bercengkrama, bersalaman, dan saling memaafkan dengan penuh suka cita.
Bagi umat Islam, Idhul Fitri bukan sekedar ibadah ritual tahunan tanpa makna yang cukup berarti. Melainkan, sebuah pertanda hari kemenangan setelah sebulan lamanya menaklukkan nafsu hewani yang dibarengi dengan segala perbuatan amal baik. Idhul Fitri merupakan kemenangan sekaligus hari terlahirnya kembali manusia dalam keadaan suci.
Dalam al-Quran disebutkan, Allah berjanji akan mengampuni semua dosa dan membebaskan dari siksa api neraka bagi siapa saja yang berhasil melewati semua ujian selama bulan ramadhan. Bahkan, Allah berjanji akan mengembalikan manusia pada keadaan azalinya, yaitu suci tanpa setitik dosa sedikit pun. Untuk itulah, hari kemenangan ini disebut Idhul Fitri karena manusia kembali suci (fitri).
Tentu saja, kembali suci merupakan puncak keberhasilan spiritualitas yang diidam-idamkan setiap kaum muslim yang khusyu’ menjalankan ibadah puasa. Kembali ke fitrah berarti kembalinya seseorang kepada keadaan aslinya yang suci sebagaimana ia baru terlahir ke dunia fana.
Secara sederhana, Idhul Fitri merupakan kelahiran kembali seorang muslim pada fitrahnya setelah selama sebulan melewati ramadhan dengan penuh pengorbanan, menjauhi kemaksiatan, menahan dahaga dan lapar serta menjalankan segala ragam ibadah dengan kaffah tanpa perasaan terpaksa ataupun dipaksa.
Secara substansial, Idhul Fitri berarti kembalinya manusia pada naluri kemanusiaannya yang murni, pada jalan agama yang lurus (siratal mustaqim), bebas dari praktik busuk hewani serta segala kepentingan duniawi yang tidak Islami. Inilah sebenarnya makna terdalam dari perayaan hari raya Idhul Fitri.
Maka, salah kaprah jika Idhul Fitri hanya diartikan sebatas perayaan karena terbebas dari larangan makan dan minum, sehingga dijadikan pintu masuk untuk melakukan ajang ‘balas dendam’ di bulan syawal. Atau, dianggap sebagai kembalinya kebebasan melakukan perbuatan maksiat yang dilarang. Namun, ketika ramadhan pulang, melakukan perbuatan maksiat menjadi rutinitas yang kerap dikerjakan secara berjama’ah.
Intinya, kesalahan memaknai Idhul Fitri akan mengantarkan seseorang pada sebuah fenomena kesalehan musiman, menjadi Islam hanya saat bualan puasa, beriman ketika ramadhan datang, bukan umat yang berusaha mempertahankan nilai-nilai kefitrian dalam nilai ketakwaan sepanjang hayatnya.
Oleh karena itu, seyogyanya Idhul Fitri dijadikan momentum untuk melakukan koreksi menyeluruh (ihtisab) terhadap pola sikap dalam praktik kehidupan sehari-hari di tengah badai kehidupan bangsa yang kian carut marut. Semoga Idhul Fitri menjadi tempat merenung untuk mengantarkan diri pada kesalehan individual maupun sosial.
Memaknai Idhul Fitri
6:05:00 AM di 6:05:00 AMThis entry was posted on 6:05:00 AM . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar