Antara Taqlid dan Tsiqah

5:30:00 PM di 5:30:00 PM

Istilah Taqlid (kadang ditambah menjadi Taqlid buta) sering “ditempelkan” kepada orang-orang NU yang tinggal di Kampung, lantaran “ketaatan” mereka kepada sosok Kyai-nya, tanpa mau “mempersoalkan” sang Kyai tersebut benar atau salah.

Istilah Tsiqah atau Kepercayaan, salah satunya dapat dijumpai dalam salah satu rukun Bai’at Imam Syahid Hasan Al-Banna. Dijelaskan bahwa Tsiqah adalah

: “rasa puasnya/relanya seorang jundi (prajurit/anggota Jamaah) terhadap Qiyadah (pimpinannya) dalam hal kemampuan dan keikhlasannya, dengan kepuasan mendalam yang dapat menumbuhkan rasa cinta, penghargaan, penghormatan, dan ketaatan”.

Dalam praktiknya, Tsiqah menjadi salah satu parameter tingkat “kesolidan” sebuah Jamaah. Lebih spesifik lagi, dalam Gerakan Harokah, ke-Tsiqah-an “jundi” kepada Qiyadah menjadi faktor penting dalam perjalanan dakwah/gerakannya. Tapi, tak jarang dijumpai dalam “perjalanan” Dakwah, Tsiqah seakan “dipaksakan” melalui “jalur” Top-Down, guna “memuluskan” agenda-agenda Dakwah. Seorang al-akh atau seorang jundi bisa jadi akan dicap tidak Tsiqah atau bahkan dianggap tidak taat, ketika ia tidak langsung “rela/puas” dengan beragam “instruksi” dari atas. “Pokoknya tsiqah sajalah akhi…”, kalimat tersebuta kadang ikut “menghiasi” agenda-agenda dakwah.

Ah…., peristiwa di atas bisa jadi hanyalah “hiasan” yang kadang ikut menyertai aktivis Harokah. Bukan Manhaj yang “mengajarkan” seperti itu, tapi bisa jadi itu hanyalah sekedar “prilaku” yang muncul dari aktivis Harokah.

Bagaimana sebenarnya Manhaj Haroki “mengajarkan” rasa Tsiqah kepada setiap aktivisnya?.

Dalam 10 rukun bai’at Imam Syahid Hasan Al-Banna: Al-Fahmu, Al-Ikhlas, Al-Amal, Al-Jihad, At-Tadhiyyah (Pengorbanan), At-Tho’ah, Ats-Tsabat (Teguh), At-Tajarrud (Totalitas), Al-Ukhuwah dan Ats-Tsiqah.

Tsiqah ditempatkan dalam urutan ke-10 atau terakhir. Artinya, selain ia diposisikan sebagai “rukun” yang harus “disifati” oleh setiap ak-akh (kader Dakwah/aktivis Harokah), Tsiqah juga sebenarnya adalah sebuah “produk”. Ya, “produk” dari ke-9 rukun Ba’at di atasnya. Jika ke-9 rukun Bai’at diatasnya telah menjadi “karakter” dan “membumi” di setiap aktivis Harokah, maka secara “otomatis” Tsiqah akan “muncul” dalam diri al-akh (kader Dakwah)

Al-Fahmu ditempatkan sebagai rukun yang pertama, sedangkan Ats-Tsiqah merupakan rukun yang terakhir. Imam Syahid mengatakan, “Yang dimaksud dengan Al-Fahmu adalah hendaknya anda yakin bahwa fikrah kita adalah Fikrah islamiyah yang murni, dan anda memahami Islam sebagaimana kami memahaminya dalam batas-batas Ushul ‘Isyrin ((20 prinsip).

Manhaj ini telah “mengajarkan” kita bahwa Kefahaman harus mendahului yang lainnya. Dengan “kafamahan”, Fiqrah akan dengan mudah terbentuk, memunculkan “mainstream gerak dan langkah”. Kalau Ilmu harus mendahului Amal, maka dalam “dunia pergerakan” atau Dakwah, Fikroh “harus” mendahului Harokah. Imam Al Ghazali mengatakan, “Ilmu akan mendorong perilaku, perilaku akan mendorong amal”. Sehingga Imam Al Ghazali menempatkan “Al-Ilmu” dalam Bab pertama kitab “Ihya Ulumuddin”-nya. Faham merupakan tujuan Ilmu. Al Qur’an dan As Sunnah memerintahkan kita untuk “Tafaqquh Fiddien” (mendalami agama).

Sehingga sangat penting “Top-Urgent” bahwa setiap kader harus menumbuhkan Al-Fahmu sebelum menjadi At-Tho’ah apalagi Ats-Tsiqah. Ats-Tsiqah tanpa Al-Fahmu adalah taklid buta, ibarat ketaklidan “orang-orang kampung NU” terhadap Kyai-nya dan ketaklidan orang-orang Muhammadiyah.

Di lapangan, kadang kita saksikan berapa banyak “kader” yang berguguran dan bepergian? Salah satunya, lantaran ada “ketidak-puasan” sang Jundi kepada Qiyadah. Jauh dari prinsip Tsiqah yang diharapkan, yakni: “rasa puasnya/relanya seorang jundi (prajurit/anggota Jamaah) terhadap Qiyadah (pimpinannya)”.

Idealnya, Manhaj ini telah mengajarkan hendaknya “Memahamkan” Jundi adalah “proyek” pertama sebelum “meminta” sang Jundi agar Tsiqah. Sehingga, agenda Halaqoh atau Liqo’at sebagai tandzim terdepan dalam basis pengkaderan dan “pembentukan” kader yang “Faham” semestinya dikelola lebih serius dan ditata lebih “rapi” ketimbang misalnya sosialisasi kebijakan, musyarokah atau sejenisnya. Tragisnya, ketika “Dakwah” ini mulai “bersentuhan” dengan Politik, agenda-agenda untuk menumbuhkan “Al-Fahmu” pada setiap kader (misalnya Liqo’at Tarbiyah) kadang sering “terganggu”. Akibatnya, improvisasi “Al-Fahmu” pada setiap kader kurang berjalan.

(Wallahu’aklam Bissowab)

0 komentar:

Posting Komentar