Umat yang Terbaik

8:05:00 AM di 8:05:00 AM

Yang menempati derajat “Khairu Ummatin” atau yang ditempatkan oleh Allah pada martabat “Khairu Ummatin”, yakni umat yang terbaik, dimulai dari negeri yang tandus, padang pasir yang serba kekurangan, jauh dari kesuburan dan kemakmuran.

Negeri itu bertetangga dengan negeri yang besar, peradabannya sudah maju, sebab berdirinyapun sudah lebih dulu, yaitu Romawi dan Yunani di sebelah barat, dan Iran atau Persia di sebelah timur.

Karena negeri itu kaya dengan ilmu dan teknologi, kebudayaan dan kesusastraan serta susunan sosial (masyarakatnya) sudah maju dan tinggi. Semua itu disaksikan oleh umat Islam tatkala mereka berjihad menyebarluaskan agama Islam ke negeri-negeri tersebut. Mereka mendengar dari mulut orang yang ada di negeri itu hinaan dan cemoohan, sebab mereka datang dengan alat perang, pakaian dan perlengkapan yang jauh lebih rendah daripada apa yang dimiliki oleh orang-orang itu (pihak lawan). Mereka melihat istana Abu Syarwan, melihat gedung-gedung yang indah dan megah, kemewahan yang melimpah ruah, melihat kekayaan Kisro di Persi, dan melihat kaisar-kaisar yang hidup jauh dari kesedrhanaan.

Mereka lihat dan saksikan pada waktu itu sama dengan apa yang kita lihat sekarang. Kita menyaksikan kemajuan dan peradaban Barat yang agamanya bukan Islam, taraf hidup mereka sudah tinggi, dan hidup mereka pun serba mewah. Umat Islam di masa itu telah melihat kemajuan di negeri orang, tetapi mereka tidak mudah menjiplak ataupun menyerah kalah, mereka tidak merasa hina dan rendah, dan mereka pun tidak memandang hina dan rendah pada adat-istiadat, kebudayaan, terutama agama yang dipeluknya. Mereka tetap megah menjadi seorang muslim, tidak mau mengabdi menjadi anak belian mereka. Mereka menjadi umat Islam yang jauh dari kerendahan diri, tetapi tidak takabur dan sombong.

Mereka tidak megah, tidak merasa puas dengan nasib yang serba kekurangan yang ada pada dirinya dengan alasan kebiasaan adat nenek moyang, tidak merasa puas dengan nasib serba kekurangan dan tidak sempurna itu. Mereka yakin bahwa mereka hidup sezaman dengan orang-orang itu, sehingga apa-apa yang dapat dicapai oleh orang-orang itu sebagai insan, pasti dapat dicapai pula oleh diri mereka, sebab sama-sama menjadi insan. Hanya Allah-lah yang Akbar.

Mereka memberi dan mengambil, memberikan kepada dunia apa yang baik dan berfaidah, dan tidak malu memetik dan meniru peradaban dan kemajuan dari negeri manapun, tidak segan menerima ilmu yang berguna dari siapa saja, tetapi dengan syarat, dipilih mana yang sesuai dan tepat dengan jiwa dengan jiwa syariat Islam serta tidak melanggar ketentuan Allah Swt.

Apabila ada sesuatu yang tidak sesuai tetapi ada faedahnya, mereka bebas untuk mengubah. Pikiran umat Islam tidak terjajah dan tidak dapat dijajah, sebab mereka mempunyai pedoman Alquran. Mereka berfikir, beramal, dan bertindak dengan pedoman tersebut.

Tidak sedikit buku-buku yang diterjemahkan, misalnya ilmu filsafat, ilmu hisab, ilmu bangunan, dan ilmu kedokteran. Semua itu disempurnakan dan disenapaskan dengan Alquran, apa yang tidak berfaedah atau yang dapat merusak akidah ataupun syariah dibuang.kini di Indonesia tidak ada rumah yang di dalamnya sepi dari kebudayaan atau peradaban Barat. Tiap[ rumah membutuhkan hasil karya Barat, tiap ulama memerlukan membaca buah pikiran orang Barat. Bioskop, televisi, koran serta buku-buku pun tidak sepi dari lukisan peradaban Barat. Karena iman dan keyakinan sudah menipis, maka kita mudah terpengaruh, pikiran kita terjajah, yang baik dan yang akurat hanya dari Eropa, apa yang dipakai mereka itulah yang modern. Cara berpakaian dikuasai oleh orang-orang Barat; minuman, makanan, adat-istiadat, kesopanan, bahkan agama pun telah mengekor kepada mereka.

Pada abad ke-7 Hijriyah orang-orang Tartar menyerbu negara Islam. Mereka menguasai pusat jantung dunia Islam. Mereka menjajah, berkuasa dalam siasat di negara Islam. Hal itu terjadi bukan karena pihak lawan kuat, tetapi pada saat itu Islam dalam keadaan lemah. Islam berhadapan dengan penjajah atau penguasa yang miskin dalam dalam hal peradaban, ilmu pengetahuan, kerajinan, undang-undang dan keagamaan, tidak mempunyai falsafah hidup. Mereka tidak terlalu salah bila dikatakan sebagai umat yang liar, nisbah kepada umat Islam pada abad itu.

Sekalipun mereka yanag berkuasa, umat Islam pada abad itu tidak terpengaruh, tidak merasa rendah, tidak mengekor kepada pihak yang menang, tidak mau berguru kepada mereka. Tetapi sebaliknya merekalah yang berguru. Mereka melihat “Khairu Ummatin” yang patut ditiru dijadikan teladan, dalam peradaban yang tinggi, akidah dan kepercayaan. Akhirnya mereka menjadi umat Islam, mengambil peradaban dari umat yang mereka kuasai. Mereka itu termasuk pembela Islam, turut mengibarkan bendera Islam, semua itu dilakukan dengan penuh keberanian.

Ternyata waktu Islam menguasai negara-negara Persi, Romawi, dan di saat itu dikuasai oleh orang-orang Tartar, mereka tidak mengubah sikap, sibghatullah-nya (celupan Allah) tidak luntur, tetap tegak dalam kepribadian Islam. Mereka dapat memperlihatkan wajah Islam sebagai khairu ummatin.

Tetapi mengapa pada abad ke-20 umat Islam memperlihatkan hati yang ragu dan waswas mengenai, “Dapatkah kiranya memperoleh kemajuan bila tetap hidup sebagai muslim yang taat dan tunduk kepada ketentuan syariat agama?” ataukah harus turut maju sezamandengan orang Barat yang kini sedang maju, hidup ala Barat berdasarkan kekuatan akal dan pikiran, tanpa agama? Apakah mereka itu maju karena agamanya bukan Islam? Apakah Islam ini sudah tidak sesuai lagi dengan zaman?

Sehubungan dengan hal tersebut Iqbal memperingatkan apa yang harus dikerjakan oleh bangsa-bangsa Timur, antara lain adalah: “Hendaklah Anda jauhi peradaban atheisme yang selalu ada dalam pertarungan dengan pembela-pembela kebenaran. Penyebar fitnah itu akan tetap menyebarkan bisa dan mengembalikan Lata dan Uzza ke Tanah Suci hingga hati akan menjadi buta disebabkan pengaruh pesonanya, sedangkan jiwa akan merana kehausan melihat fatamorgananya. Ia akan mematikan bisikan hati, nahkan akan mencabut hati itu sendiri dari dalam dada, tak ubahnya secara terang-terangan di waktu siang bolong, dan meninggalkan manusia tiada berjiwa tanpa harga.”

”Semboyan peradaban ini adalah menyerang peri kemanusiaan dan membunuh setiap kepribadian, sedangkan usahanya yang tidak henti-hentinya adalah berdagang mencari keuntungan Dunia Islam sekali-kali tidak akan merasakan kesejahteraan dan ketentraman, tiada akan menikmati kecintaan murni dan kelulusan penuh kepada Ilahi, kecuali bila peradaban baru ini menemui kehancuran.”

“Semboyan peradaban baru ini, di mana ia berdagang dan mengobral barang-barang dagangannya, adalah menghancurkan manusia. Bank-bank besar ini tiada lain dari kelihaian Yahudi yang licik, yang telah merengutkan cahaya kebenaran dari hati manusia. Dari itu, selama norma-norma ini belum tersingkir, maka akal budi, peradaban, dan agama itu hanya tinggal impian belaka. Memang, ini adalah peradaban yang masih remaja disebabkan usianya yang masih muda serta kelincahan yang tersimpan di dalamnya, tetapi sebetulnya ia berada di ambang kematian, sedang menghadapi sakratul maut. Dan seandainya ia segan dan tidak mau mati, maka ia akan bunuh diri dan menikam tubuhnya dengan pisau. Hal itu tidaklah mengherankan, sebab suatu gubuk yang berdiri di atas dahan yang lapuk tidaklah akan berusia lama, dan tidak usah pula merasa heran bila pusaka keagamaan dan gereja-gerajanya akan diwarisi dan dikendalikan oleh orang-orang Yahudi.” Wallahu’alam**

0 komentar:

Posting Komentar